Pertemuan negara-negara pemilik hutan tahun 2005 di Marakesh, Maroko, juga menyepakati pelestarian lingkungan. Tanpa seruan global, Indonesia sejak tahun 1970-an sudah mencanangkan pelestarian hutan, termasuk reboisasi.
Namun, pengurangan hutan terjadi. Faktor-faktor penyebabnya adalah pertambahan jumlah penduduk dari 120 juta orang menjadi 240 juta orang sekarang ini, ekspansi perkebunan kelapa sawit serta kepentingan bisnis yang menopang pertumbuhan ekonomi, dan penyelundupan hasil kayu ke luar negeri.
Tak semua perambahan hutan negatif karena itulah salah satu konsekuensi pembangunan ekonomi, termasuk penyediaan lahan untuk perumahan dan pabrik. Hal yang mungkin dicegah keras adalah perambahan hutan untuk ekspor gelondongan ilegal.
Hal yang mendorong tulisan ini adalah bersama negara lain pemilik hutan, Indonesia menjadi sorotan soal pelestarian demi penurunan pemanasan global. Bank Dunia tahun 2007 menyebutkan, Indonesia penghasil karbon dioksida (CO) terbesar akibat perambahan hutan, tuduhan kontroversial.
Ada beberapa hal yang mencurigakan. PBB memiliki skema pelestarian hutan, yang dinamai Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Pendukung REDD mengatakan, cara ini terbaik dan tercepat. REDD diperkuat pada pertemuan Kopenhagen, Denmark, Desember 2009.
Indonesia berkomitmen melakukan skema REDD. Imbalannya, Indonesia mendapatkan bantuan dari Norwegia 1 miliar dollar AS. Hal ini juga akan diterapkan di Brasil, sejumlah negara di Amerika Selatan, Asia, dan Pasifik Selatan. Sekelompok negara maju, termasuk Australia, Inggris, Denmark, Perancis, Jerman, Jepang, Swedia, dan AS, berkomitmen untuk pendanaan REDD.
Indonesia berkomitmen menanami pohon di lahan seluas 21 juta hektar untuk mengurangi 26 persen emisi rumah hijau pada 2020 dari level 1990 dan akan mengurangi 41 persen jika ada tambahan dana dari Barat.
Mengapa harus mengandalkan bantuan asing untuk reboisasi. Bukankah ada dana reboisasi?
Mengapa pendalaman skema REDD mengalami kemajuan pesat dibandingkan program utama pemanasan global? Bukankah mayoritas pemanasan global disebabkan emisi di luar kerusakan hutan? Sejumlah ahli mengatakan, kontribusi kerusakan hutan pada emisi global adalah 15 persen, selebihnya adalah emisi bahan bakar fosil, yang meningkat lebih cepat ketimbang deforestasi.
Intergovernmental Panel on Climate Change memperkirakan perubahan fungsi lahan memberikan kontribusi CO sebanyak 1,6 Gt karbon per tahun. Sebagai perbandingan, emisi bahan bakar menyumbang CO sebesar 6,3 Gt karbon.
Mengapa hutan di sejumlah negara berkembang menjadi sasaran. Organisasi Pangan Dunia (FAO) menyebutkan, deforestasi hutan global mencapai 13 juta hektar per tahun, termasuk hutan-hutan di negara kaya.
Harian India, The Times of India, edisi 28 Mei 2010, mempertanyakan, mengapa China dan India tak diikutkan dalam REDD. Pada pertemuan di Oslo, Oslo Climate and Forests Conference, 27 Mei, Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg menjawab. ”Kami akan fokus pada semua hutan. Namun, kami kini masih lebih memusatkan pada pelestarian hutan yang ada saja dulu,” kata Stoltenberg.
Para peneliti terus mempertanyakan keanehan itu. ”Penanganan hutan-hutan di negara maju juga tidak kalah penting,” kata Michael Richardson dari artikelnya berjudul ”Ensuring Redd is Not Mere Pulp Fiction” di The Straits Times edisi 7 Juni. Richardson adalah peneliti di Institute of Southeast Asian Studies.
Para aktivis dan elite terkait pembangunan ekonomi dan lingkungan yang paham artikel Richardson secara implisit menyindir kecurangan Barat, yang mendambakan pertumbuhan dengan toleransi polusi dikompensasikan dengan pelestarian hutan di negara berkembang, yang paling membutuhkan pembangunan ekonomi untuk mengangkat status sosial ekonomi 1,2 miliar orang global.
Skandal makin terkuak pada pertemuan di Bonn, Jerman, 31 Mei-11 Juni, yang dihadiri perunding dari 185 negara. Pertemuan menyepakati pengurangan emisi 80-95 persen pada tahun 2050 untuk negara maju dan tak terlihat rencana untuk 2020. Basis pengurangan emisi juga bukan 1990. AS menginginkan basisnya adalah tahun 2005.
Pertemuan Bonn sukses menancapkan REDD, berupa bantuan 10 miliar dollar AS per tahun selama 2010-2012 hingga lebih dari 100 miliar dollar AS sejak tahun 2020.
Negara berkembang menilai tak ada kemajuan mendasar soal perang melawan pemanasan global. ”Diskusi tidak menyangkut esensi,” kata Kim Carstensen dari WWF International.
Ketua Delegasi Bolivia Pablo Solon mengatakan, ”Ini bukanlah debat yang kita inginkan.”
Ketua Badan PBB soal Iklim (UN Framework Convention on Climate Change) Christiana Figueres mengatakan, pemerintahan harus menghadapi tantangan ini. Yvo de Boer, yang digantikan Figueres, pesimistis. ”Kita dalam perjalanan panjang untuk mengatasi perubahan iklim,” kata De Boer.
Alden Meyer dari Union of Concerned Scientists, berbasis di AS, meledek. ”Harapan Figueres terlalu tinggi.”
Harian Inggris, The Guardian, edisi 9 Juni menuliskan hal yang lebih maut lagi. Ketimbang mengurangi emisi minimal 30-40 persen pada 2020, negara maju malah menaikkan emisi 8 persen. Hal ini dilakukan dengan melakukan trik dalam kalkulasi pengurangan emisi. Trik ini adalah penggunaan pasar karbon untuk melegalkan emisi sebanyak 30 persen di negara maju dengan kompensasi pelestarian di negara lain.
Harian yang sama edisi 8 Juni menuliskan, Barat melakukan tipuan dengan mempersembahkan data penanaman hutan, tetapi menunjukkan data penebangan nyata. ”Ini skandal yang tak punya rasa dan malapetaka bagi iklim,” kata Sean Cadman dari Climate Action Network, koalisi dari 500 kelompok lingkungan dan pembangunan dari seluruh dunia. ”Hanya Swiss yang tidak mau melakukan itu,” kata Cadman.
Demikian pula soal komitmen bantuan untuk REDD. Bantuan yang dinyatakan adalah bantuan yang sebelumnya dijanjikan diberi, tetapi dialihkan ke bantuan pelestarian hutan.
Antonio Hill dari Oxfam mengingatkan negara berkembang bahwa ada potensi bantuan itu akan menjadi utang dan akan merugikan karena bantuan REDD berasal dari bantuan yang tadinya diperuntukkan bagi peningkatan sistem kesehatan dan pendidikan. Ketua Delegasi Uni Eropa Laurent Graff membantah. ”Bantuan itu nyata dan benar-benar dipersiapkan.”[kompas]
Artikel yang amat menarik. Diulas dengan kritis dan tajam. Terlepas dari polemik diatas, kita tentunya prihatin dengan keberadaan hutan di Indonesia. Berapa juta hektar hutan di Indonesia yang telah mengalami kerusakan ? Perlu langkah yang nyata untuk mempertahankan paru-paru dunia ini. Jangan ada lagi perambahan hutan. Kita dukung penuh langkah penghijauan dan reboisasi yang dilakukan Indonesia.
Pemanasan global menjadi isu yang amat menarik. 'Bumi semakin panas'. Diperlukan langkah bersama diantara negara-negara di dunia untuk mengatasinya dengan cara yang jujur, adil, efisien dan efektif.
perdagangan karbon salah satu skenarionya. So industri di negara Barat mengalirkan dana ke negara duni ketiga sebagai kompensasi emisi karbon mereka. Sama artinya, mereka ingin tetap menggelontorkan asap dan limbah demi kemakmuran sendiri dengan seolah-olah mendukung penyelamatan lingkungan di negara lain termasuk Indonesia. Mestinya mereka juga menekakan emisi karbon di negara mereka sendiri. Yang paling bandel emang Amerika, ogah memangkas produksi emisi :(